#Sheilla POV#
“Miiiil, tolong dong pintunya...”
“Manja. Buka sendiri napa...”
Dia datang! Dia datang! Dia datang!!! Ucap ku
berulang kali di dalam hati. Tanpa harus aku bersusah payah membalikkan badan
ku dari posisi ku saat ini, aku bisa mengenalinya hanya dari suaranya. Bagaikan
istri yang baik, aku menunggunya pulang setelah seharian dia mengabdikan
dirinya di kantor yang selalu ia bangga-banggakan. Masih dalam posisi duduk ku
yang menghadap ke pintu kamarnya, aku masih menyimak setiap percakapannya di
teras rumah. Bahkan aku sempat tersentak kaget saat mengetahui dia hampir
tergelincir karena lantai teras yang penuh dengan tetesan air dari motor kesayangaannya.
Yaa, di luar sana hujan sedang turun. Sudah hampir seharian bahkan seminggu
ini, hujan mencoba menyelimuti kota ini dengan suhu rendahnya. Bahkan dengan
baju lapis tiga ku ini, aku masih bisa merasakan dinginnya udara senja ini.
“Assalamualaikum...” ucapnya saat memasuki
rumah.
Wa alaikum salam, balas ku dalam hati. Mencoba
pura-pura fokus dengan apa yang sedang aku kerjakan.
“Kalau ada orang salam, dijawab dong!” ucapnya
sambil menyibakkan rambutnya yang basah ke arah ku.
“Wa alaikum salam.. harus gitu nyemprot-nyemproti air, biar dibales
salamnya? Lagi serius niih..” balas ku.
“Dihh main game di hp gak usah serius-serius
kali..” ucapnya sambil mengusapkan tangannya yang basah ke atas kepala ku dan
berlalu menuju kamarnya. hal ini sontak membuat ku terdiam sesaat. tak ingin terlihat begitu senangnya karna usapan tangannya tadi, aku langsung membalas ucapannya.
“A..a..apa bedanya sama Mas Ardi waktu lagi main
DOTA di komputer.. fokusnya sampe ngalahin khusyuknya orang shalat.” ucap ku sedikit ketus.
Dia hanya mengangkat kedua bahunya dan menarik
garis senyum dari bibirnya sembari tangannya sibuk mengotak-atik kunci
kamarnya. Akhirnya mata kami bertemu. Meskipun sebagian rambutnya yang basah
menutupi garis alisnya, tapi aku masih bisa melihat ekspresi mukanya yang
sebenarnya tergolong muka orang tengil. Jujur saja aku benar-benar suka lawan pandangan dengan Mas Ardi. Mata yang khas dengan sedikit lingkaran hitam dibawah matanya, membuat aku ingin merawatnya. siapa yang bakal tahan ngeliat muka yang kayak panda gitu. hehehehe....
“Ohh, Ardi sudah pulang..” ucap Tante Diana.
“Lohh, gak pake jas hujan ya. Sampe basah kuyup gitu..”
“Iya, hehehe...” ucapnya sambil menyeringai
kecil.
“Alasan itu, biar ntar sakit terus
dimanja-manja sama Mbah Uti.” Celetuk Mila.
“Bener-bener dah, Mas Ardi ini licik
poollll...” sambung ku.
“Heeh gak boleh ngomong gitu dong... ntar kalo
Ardi beneran sakit gimana?”
“Nggak apa-apa kok ‘Te Di... mereka kan pada
iri sama saya, hehehe.” Balasnya kembali menyeringai dan berjalan masuk ke
kamarnya.
Bukannya si Mila nggak punya alasan ngomong
kayak gitu, karena hal itu emang beneran kejadian. Awal bulan kemarin contohnya.
Sudah dua hari Mas Ardi sakit dan dia bener-bener dimanja sama Mbah Uti. Jadi
ceritanya, di hari kedua dia sakit dia harus pergi ke tempat pelatihan
kerjanya. Gitu Mas Ardi udah siap jalan bareng Mas Iwan. Alhasil Mas Iwan kena
semprot dari Mbah Uti.
“Wan... si Ardi itu lagi sakit. Jangan ajak
pergi dulu laah. Ntar kalo tambah sakit gimana?”
“Tapi
Mbah Uti..”
“Nggak ada tapi-tapian... Mbah Uti nggak mau
liat Ardi sakit-sakitan.”
Ya emang bener sih, di luar rumah juga emang
lagi hujan. Tapi nggak tau kenapa Mbah Uti so-over-protective
ke Mas Ardi. Masalahnya Mas Ardi kan bukan sapa-sapanya Mbah Uti. Mas Ardi
Cuma orang yang ngontrak salah satu
kamar di rumahnya Mbah Uti. Dan sialnya Mas Iwan yang notabene sebagai cucu
kandungnya Mbah Uti dan yang ngebawa Mas
Ardi buat tinggal di sini, malah dinomer-duakan sama Mbah Uti. Nggak hanya Mas
Iwan, tapi hal ini juga berlaku buat aku dan Mila yang juga cucu kandung Mbah
Uti. Jangan-jangan bentar lagi Mbah Uti bakal masukin nama Mas Ardi ke dalam daftar penerima warisannya.
Mas
Ardi pun keluar kamar setelah mengganti bajunya, tapi masih menggunakan celana
kantornya. Dengan baju kaos kuning yang digunakannya, membuat kulit Mas Ardi
terlihat lebih bersinar, meskipun muka kucelnya setelah capek di kantor tetap
terlihat. Iapun duduk di sofa panjang yang ada di depan kamarnya. Andai aja
Mila nggak duduk juga di sofa ini, pasti posisi duduk kami sudah sebelahan.
Untuk detik ini dan untuk pertama kalinya, kamu jadi makhluk terkutuk, Mil.
*See you soon in
the next chapter*
0 komentar:
Posting Komentar